“Tragedi Lusitania Expresso 1992”

Kisah kapal Ferry Portugal yang hendak terobos perairan Indonesia ke Dili untuk kepentingan Politik Pasca Tragedi Santa Cruz.

Kapal ferry Lusitania Expresso (foto dari kabarpenumpang.com)

Tragedi Santa Cruz di Dili pada 12 Nopember 1991 mengundang perhatian dan keprihatinan yang luas terutama dari negara-negara Eropa dan Amerika.

Tragedi Santa Cruz 12 November 1991

Dan dari situlah konstelasi politik dunia terhadap Indonesia khususnya Propinsi Timor-Timur berubah, hanya dalam beberapa tahun saja Indonesia cukup kerepotan menghadapi Politik luar negeri yang dimainkan seorang “Ramos Horta” dengan mengangkat Tragedi Santa Cruz sebagai topik politik luar negerinya untuk menyudutkan Pemerintah Indonesia. Indonesia sendiri secara Internal melakukan penyelidikan-pengusutan kedalam untuk dapat menjawab pertanyaan dunia Internasional. Sehingga beberapa Perwira mendapat tindakan internal sebagai pertanggung Jawaban terhadap kejadian kasus Santa Cruz. Bahkan dalam waktu 8 tahun saja Indonesia “dipaksa” melakukan Jajak Pendapat di Timor-Timur untuk menentukan masa depan daerah itu, dan hasilnya adalah Propinsi ke-27 Timor-Timur “lepas” dari Kesatuan Negara RI dan mereka berdaulat sebagai sebuah negara yang merdeka seperti sekarang ini dengan nama negara Timor Leste.

Para Demonstran yang menjadi calon penumpang kapal Lusiana Expresso

Perjuangan seorang Ramos Horta sebagai Diplomat Luar Negeri Fretilin sesaat setelah terjadinya Kasus Tragedi Santa Crus semakin kuat dan mulai berbuah hasil, dia melakukan manuver-manuver Politik ke negara-negara Eropa, terutama bersama-sama dengan negara ex. penjajah Timor Timur yakni Portugal guna mempengaruhi dan mendapat dukungan dari negara-negara NATO bahkan PBB untuk melakukan tekanan-tekanan politik terhadap Indonesia agar mau melakukan Jajak Pendapat di Timor-Timur. Dari sinilah kemudian direncanakan agar dilakukan kegiatan sosial berupa kegiatan tabur bunga dan demonstrasi di Dili dalam rangka peringatan setahun terjadinya Tragedi Santa Crus, maka diundanglah para Wartawan dan Penggiat Lembaga-Lembaga yang bergerak dibidang HAM untuk mengikuti kegiatan ini sebagai peserta Demo yang rencananya akan dilakukan dikota Dili, ibukota Propinsi Timor Timur.

Para wartawan penumpang kapal Lusiana Expresso tengah mewawancara

Tercatat 73 aktifis LSM Luar negeri (dari 21 negara) serta 59 Wartawan, bahkan ada seorang mantan Presiden Portugal termasuk yang akan mengikuti kegiatan Tabur Bunga dan Demonstrasi di Kota Dili dalam rangka memperingati tragedi Santa Cruz dan mereka akan diangkut oleh Kapal Ferry “Lusitania Expresso” milik Portugal menuju Dili-Indonesia.

Kapal Lusitania Expresso dalam pengawalan Kapal terbang pengintai TNI-AL (foto dari Indomaritim.id)

Pada tanggal 23 Januari 1992 dimulailah perjalanan dari Pelabuhan Vasco da Gama Portugal ke Darwin Australia dan tiba di Darwin pada tanggal 8 Maret 1992. Kemudian pada tanggal 9 Maret 1992 berangkat dari Darwin menuju ke Dili Timor-Timur. Ini merupakan perjalanan yang panjang dan penuh resiko, kapal Lusitania Expresso di komandani oleh Captain Santos. Dalam perjalanan dari Darwin menuju Dili Timor-Timur itulah terjadi insiden dengan Kapal Perang Angkatan Laut Indonesia karena Lusitania Expresso tidak memiliki Ijin memasuki Perairan Indonesia, mereka “dihadang” oleh Dua Kapal Perang indonesia yakni Fregat KRI Yos Soedarso-353 dan Korvet KRI Ki Hajar Dewantara-364 diperbatasan lautan 200 mile ZEE milik Indonesia.

Ketegangan luar biasa yang terjadi didalam kapal berbendera Portugal Lusitania Expresso, sebuah kapal Ferry jenis Roro dengan ukuran 72 meter x 13 meter yang waktu itu sudah mulai memasuki zona laut Indonesia dan sedang dicegat dan dikawal ketat oleh dua kapal perang Indonesia yang bertepatan dengan adanya Operasi Aru Jaya. Memang kehadiran kapal Lusitania ini sudah direncanakan jauh hari dan mereka sudah bertekad untuk tetap memasuki Dili dengan atau tanpa Ijin dari Pemerintah Indonesia, mereka akan menerobos masuk dengan segala resiko apapun yang akan terjadi.

Lusitania Expresso dalam perjalanan menuju Timor Timur

Tidak kurang Pemerintah Indonesiapun dibuat kepala pening ketika mengetahui rencana kedatangan Kapal Lusitania Expresso ke Dili, segala persiapan baik didarat maupun dilaut sudah dibuat dan ada 2 (dua) Plan yakni Plan A dan Plan B :

  1. Plan A yakni Mencegah dan Menghambat sekaligus mengusir Kapal Lusitania kembali ke Darwin dan tugas ini diserahkan kepada Angkatan Laut RI.
  2. Plan B apabila mereka berhasil Lolos sampai keperairan Dili, maka akan diarahkan ke Pulau Atauro (pulau disebelah utara kota Dili) untuk dikonsentrasikan disana dan tidak diperbolehkan masuk Dili lalu dikirim pulang, ataupun kalau sampai masuk ke Dili maka hal ini akan menjadi tanggung jawab Polri yang didukung oleh TNI.

Seluruh anggota Kompi Brimob di Timor-Timur (Dankie saat itu adalah Lettu Pol. Rudolf Rodja) dengan di back-up oleh Kompi Brimob dari NTT melakukan latihan Anti Huru-Hara dipimpin langsung oleh Dansat Brimob Bali-Nusra yakni Mayor (Pol) Drs. Jacki Uly, latihan operasi ini dilakukan dipantai Dili. Operasi ini dinamakan ” SATANNETIK “ dimana Brimob diberi tanggung jawab pada lini depan berhadapan langsung dengan penumpang kapal Lusitania apabila mereka sampai lolos masuk dipantai Dili, disamping itu dalam skenario lainnya Pasukan Brimob juga direncanakan akan diterjunkan dari Helikopter untuk merebut kemudi Kapal dan membawa kapal Lusiana Expresso kembali ke Perairan Internasional.

Kapal Lusitania expresso dalam penghadangan Kapal Perang Indonesia ( foto dari indomaritim.id)

Polri menjadi Penanggung jawab di darat mengingat bahwa kejadian Santa Crus masih hangat dari penglihatan dunia Internasional, hal ini menjadi beban berat bagi Polri sebagai Penanggung Jawab Kamtibmas dalam Negeri, kapal Lusitania yang akan datang tersebut membawa orang-orang sipil dan kapal Lusitania sendiri adalah Kapal Angkutan Orang bukan kapal Perang sehingga mereka harus diperlakukan sebagai masyarakat Sipil dan harus ditangani oleh pihak Polri dengan langkah-langkah penanganan melalui Protap Kepolisian yang berlaku secara Internasional (tetapi tetap mendapat dukungan dari TNI digaris belakang).

Brigjen. Theo Syafei Pangkolakops Timor Timur (Foto dari Kompas)

Tidak main-main sebab Seluruh Pelaksanaan Operasi Pencegahan masuknya kapal Lusitania Expresso ada dalam tanggung jawab Pangkolaops Timor Timur Brigadir Jenderal Theo Syafei melalui Satuan Tugas Khusus (Satgassus yang dipimpin oleh Kolonel Pelaut Widodo AS, beliau kemudian nantinya menjadi Panglima TNI) yang membawahi 4 matra angkatan yang bertugas disana. Enam Kapolres di Timor-Timur yang memiliki wilayah perbatasan dengan laut diperintahkan untuk bersiaga dan melakukan Latihan anti Huru Hara dan penjagaan wilayah pantainya didukung oleh para Dandim setempat guna menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi dengan kedatangan kapal Lusiana ini. Semua pintu masuk dari laut telah disiaga-jagakan dengan akurat serta penuh perhitungan yang matang, bahkan kalau sampai masukpun di Dili maka langkah-langkah penanganannyapun sudah dipersiapkan.

Korvet TNI-AL Ki Hajar Dewantara

Kembali kepada pelaksanaan Plan A, Kapal Lusitania Expresso yang berangkat dari Darwin menuju Dili telah ditunggu oleh dua kapal Perang TNI-AL masing-masing KRI Yos Soedarso dan KRI Ki Hajar Dewantara. Ketika Kapal Lusitania Expresso memasuki Perairan Zona Economy Exclusive (ZEE) Indonesia langsung mendapat penghadangan dari kedua kapal Perang Indonesia. Keteganganpun terjadi karena Kapal Lusitania Expresso tetap memaksakan kehendak untuk menerobos perairan Indonesia. Pimpinan Operasi pada Kapal Yos Soedarso Kolonel Haryono langsung memerintahkan untuk dilakukan pencegatan serta diberi warning melalui Kapten Laut Marsetio ( Kepala Departemen Operasi KRI Yos Soedarso ) “untuk tidak memasuki wilayah laut indonesia tanpa ijin serta segera memutar haluan kembali ke Perairan Internasional, peringatan ini diberikan sebanyak 3 (tiga) kali” serta disusul dengan gerakan kedua kapal Perang RI tersebut melakukan manuver dengan “menjepit” Kapal Lusitania membuat kapten kapal Lusitania Expresso Luis Santos pun cukup “keder” , karena tampaknya pihak Angkatan Laut Indonesia tidak main-main dengan ancamannya tersebut, akhirnya dengan alasan mesin kapalnya rusak dan mati mesin, mereka berkesempatan untuk melakukan tabur bunga di perbatasan Perairan Internasional dengan ZEE Indonesia dan setelah itu kapal Lusitania Expresso “memutar balik” haluannya dan berlayar kembali ke pelabuhan Darwin Australia dengan pengawalan ketat dari Kapal Perang Indonesia (11 Maret 1992)

KRI Yos Soedarso fregat TNI-AL

Upaya untuk “mempermalukan” Indonesia dapat dihadapi dengan elegan oleh ABRI saat itu, Indonesia berhasil menyelamatkan Kehormatan Wilayah Teritorial Negara Indonesia tanpa kekerasan tetapi dengan Damai dan Terhormat, Penyelesaian Insiden ini disaksikan seluruh dunia, karena diliput dan dilaporkan secara langsung oleh Para wartawan Internasional yang berada di dalam kapal Lusitania Expresso. Di darat para pasukan Brimob dibawah komando Jacki Uly pun dapat bernafas lega karena tidak perlu lagi “berhadapan” dengan penumpang kapal Lusitania yang tentunya terhindar dari kontak fisik dengan para pendemo internasional tersebut. Setelah operasi Satannetik tersebut, Jacki kembali ke Mako Satuan Brimob Bali Nusra di denpasar dan dia mendapat kenaikan pangkat Letnan Kolonel (Pol).

Jacki Uly ( foto dari keluarga)

Sumber Data : Buku “Polisi di Wilayah Konflik (penulis Jacki Uly dan editor Peter A. Rohi ), dan dari sumber google Indomaritim.id.

NNU

3 thoughts on ““Tragedi Lusitania Expresso 1992”

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started