Masa kecil Onie
Onie atau nama lengkapnya “ Leonie Victoria Tanya “ adalah putri bungsu dari 5 (lima) orang bersaudara kandung, putra dan putri dari Saul We Tanya dengan Yohana Hidelilo. Onie dilahirkan di Sabu Timur 18 Mei 1928. Ayah Onie yakni Saul We Tanya ketika itu adalah Fetor Sabu Timur, beliau sekaligus adalah Ketua PNI dan Ketua Timorsche Verbond di Sabu-Raijua. Timorsche Verbond maupun PNI-Soekarno adalah Organisasi Politik di Jaman Penjajahan, melalui Timorsche Verbond inilah Saul W.Tanya pernah melakukan Class Action Hukum tahun 1923 di Pengadilan Makassar melawan pemimpin Kolonial di Sabu yaitu Mr. Gazeghebber Israil dengan materi gugatan masalah Penetapan serta Pembayaran Pajak yang sangat membebani rakyat Sabu yang notabene adalah rakyat miskin. Dan Saul W.Tanya menang , sang penguasa kolonial dicopot dan dipindahkan dari Sabu.
Saul We Tanya pernah menjadi Raja Sabu (1936-1940), ketika itu Raja Sabu Samuel Thomas Djawa meninggal dunia, sedangkan adiknya Paul Ch. Djawa sedang sekolah diluar Sabu, maka dilantiklah Saul We Tanya menjadi Raja Sabu selama empat tahun, menunggu P.Ch.Djawa kembali dari sekolah, untuk diketahui juga bahwa Paul.Ch.Djawa ini adalah ‘kakak ipar’ dari Saul W. Tanya , karena istri Paul Ch. Djawa yaitu Lonie Tanya adalah kakak kandung dari Saul W.Tanya. Bahkan anak dari Saul We Tanya yang bernama Sam Tanya ( kakak kandung Onie) juga pernah menjabat Raja Sabu diangkat oleh Jepang selama beberapa bulan, Sam Tanya kemudian kuliah Ekonomi di Nederlands Economische Hogeschool Rotterdam, Netherlands ( Mantan Gubernur Bank Sentral Indonesia Radius Prawiro alumni dari sekolah ini), Sam Tanya kemudian menjadi Pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya-Palembang sekaligus merupakan Dekan pertama Fak.Ekonomi Universitas Sriwijaya di Palembang-Sumatera Selatan.
Onie oleh orang tuanya disekolahkan di Europeesche Lagere School (ELS) di Kupang, ELS adalah sekolah di Jaman Belanda yang dikhususkan untuk anak2 Belanda , Eropa, termasuk juga untuk anak2 bangsawan setempat, banyak anak2 tokoh/bangsawan Timor, Rote dan Sabu yang adalah alumni dari sekolah tersebut, sebut saja Ny.Adelaide Nisnoni-Amalo Djawa; Ny. Yacoba Frans-Johannes; ibu Anna Riwu (anak raja LiaE); Bpk.AFH.Nope, Bpk.Eduard Pa, ibu Mien Sampelan, bpk.Karel Adu, bapak Pace Oey serta banyak lagi alumnus dari sekolah ini. Menjelang tamat di tahun 1942, Jepang masuk Timor. mereka mem-bom Kupang serta memukul mundur pasukan Sekutu di pulau Timor, sekolah2 diliburkan, murid2nya kembali ke asalnya masing2, termasuk Onie, dia berjalan kaki puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di tangga 40 fontein sampai di pelabuhan Tablolong untuk menumpang perahu (satu layar) kembali ke pulau Sabu. (Kisah Onie menyelamatkan diri dari kedatangan tentara Jepang tahun 1942 cek di Link : https://nickywritehistory.wordpress.com/2021/03/06/kisah-leonie-v-uly-tanya-diawal-pendudukan-jepang-di-timor/)
Menikah dan tinggal di Kupang
Sekembalinya di Sabu tidak lama kemudian dia menikah dengan pemuda pujaan hatinya yaitu Titus Uly, seorang guru muda tamatan HIK Solo-Jawa Tengah,yang baru kembali ke Sabu dari Sekolah Pertanian di Lawang Jawa Timur (sebagai guru bahasa disana), mereka menikah di Sabu 15 Oktober 1944, Onie menikah di usia yang sangat muda ( 16 tahun). Pada bulan Juli 1945, lahirlah anak pertama dari Titus dan Onie, namanya Johana Monica Uly ( Jopie ), oleh karena Titus Uly harus pindah ke Kupang, maka anak mereka dititipkanlah pada orang tua Titus di LederaE-Bolouw Sabu Timur, kemudian Titus dan Onie berangkat ke Kupang karena Titus mendapat penugasan baru sebagai Direktur “Normaalschool” (Sekolah Pendidikan Guru Bawah jaman Penjajahan Belanda ) di Kupang.
Ketika di Kupang, Oniepun sebagai istri harus menyesuaikan dengan kegiatan tugas suami, Titus Uly selain menjadi guru, tapi dia juga aktif mengikuti pergerakan2 politik melalui partai politik PDI Timor (Partai Demokrasi Indonesia, tidak ada hubungannya dengan PDIP saat ini), PDI-T adalah Partai Politik yang berjuang secara politik untuk kemerdekaan. Ketua Umum PDI-Timor saat itu adalah Bp.Izaac Huru Doko (pahlawan Nasional asal NTT), sedangkan di Kupang diketuai oleh Bp.Alfons Nisnoni (raja Kupang), Titus Uly sebagai Wakil Ketua PDI Kupang. Onie sebagai istri banyak menyaksikan sepak terjang dari partai PDI ini. Salah satu moment yang diingat terus oleh Onie, adalah moment ketika PDI membuat pertemuan/rapat akbar massa PDI Kupang di lapangan Airnona tanggal 29 April 1945, dimana dalam rapat akbar yang diikuti massa PDI kurang lebih 3000 (tiga ribu) orang, ada acara ‘penaikkan bendera sang saka Merah Putih’, yang dikerek oleh pemuda Titus Uly, Onie mengenang moment tersebut karena terasa sangat-sangat Heroik, sebab di Kupanglah bendera Merah Putih dinaikkan pertama kalinya ‘secara resmi di Indonesia’ yang dihadiri dan disaksikan pula oleh pimpinan tentara penjajah Jepang ( Minseibu). Penaikkan bendera Merah Putih ini mendahului 4 (empat) bulan dari Penaikkan Bendera Pusaka Merah Putih ketika Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur no. 56-Jakarta.
Mengikuti suami ke Holandia Irian Barat (1946-1947).
Pada tahun yang sama (1946) Titus Uly mengikuti test masuk Sekolah Kursus Perwira Kepolisian, ada 3 (tiga) orang yang mengikuti test tetapi hanya satu orang yang lulus yaitu Titus Uly, maka Titus harus berangkat ke Holandia (Jayapura sekarang) untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Polisi selama 8 (delapan) bulan. Onie pun ikut mendampingi suaminya, akan tetapi persyaratan dari sekolah, calon siswa dilarang membawa istri selama pendidikan, hal ini menjadi masalah baru bagi Titus, akhirnya diambilah keputusan istrinya tetap ikut, tetapi akan dititipkan kepada oom istrinya yang tinggal di Makassar yaitu bpk.E.R.Herewila ( Pejuang Perintis Kemerdekaan) yang pada saat itu tengah berjuang angkat senjata bersama-sama anak buahnya di Makassar. Ketika kapal yang mereka tumpangi sandar di dermaga Paotere-Makassar, mereka berdua mulai mencari informasi tentang alamat dari bpk.Herewila ini, tetapi begitu sulitnya mereka mencari alamat beliau, karena tidak ada seorangpun tahu dimana beliau tinggal, hal disebabkan bpk.Herewila dan anak buahnya selalu berpindah-pindah tempat ( tidak ada tempat tetap) , Herewila adalah salah satu pimpinan pejuang dan tokoh/pimpinan Organisasi Sosial Politik di Makassar yakni ” Timorsche Verbond ” yang sedang dikejar oleh Raimond Westerling (Westerling adalah orang belanda kelahiran Turki yang menjadi komandan tentara Belanda di Makassar, dia terkenal sangat sadis membantai lebih dari 10.000 rakyat Makassar, tercatat dalam sejarah penjajahan Belanda).
Akhirnya setelah berputar-putar di Makassar, Titus dan istrinya bisa berjumpa dengan sang oom yaitu Bpk. E.R.Herewila disalah satu tempat persembunyiannya di jalan Gotong-Gotong Makassar, atas jasa pengantar yaitu salah seorang anak buah Herewila. Tituspun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Herewila, bahwa dia akan menitipkan istrinya, mendengar hal tersebut Herewila pun menyampaikan rasa keberatannya, karena Herewila bersama anak buah pejuangnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, setiap hari berpindah-pindah menghindari tentara Belanda anak buah dari Westerling, sekaligus melakukan perang Geriliya dalam kota Makassar . Titus dan Oniepun sangat2 mengerti keadaan oomnya, akhirnya mereka pamit untuk kembali ke Kapal dan meneruskan perjalanan ke Holandia-Irian Barat, Oniepun dibawa suaminya ke Holandia dengan resiko apapun. Onie menceritakan pertemuan dengan pejuang Herewila, membuat dia sangat kagum dan bangga terhadap oomnya tersebut, serta dia sendiri menjadi saksi mata yang melihat bahwa Herewila adalah Pejuang yang disegani di Makassar.
Titus dan istrinya akhirnya melanjutkan perjalanan berangkat dari Makasar ke Holandia (Jayapura), dan Titus pun mulai mengikuti Pendidikan Kepolisian di Holandia selama 8 (delapan) bulan sejak tanggal 1 Mei 1946 s/d 31 Januari 1947. Kemudian Titus melanjutkan Pendidikan Perwira Polisi di Batavia selama 5 (lima) bulan (1947)
Mengikuti suami melanjutkan Pendidikan Perwira Kepolisian di Batavia/Jakarta (17 Februari 1947)
Titus Uly pun masuk pendidikan Perwira Kepolisian di Holandia (1946), setamatnya dari Holandia kemudian melanjutkan Pendidikan Perwira Kepolisian dan Praktek lapangan di Sekolah Inspektur Polisi- Batavia/Jakarta selama 5 (lima) bulan mulai tanggal 17 Februari 1947 s/d 31 Juli 1947. Di Batavia Titus dan Onie tinggal di Jalan Kramat, bertetangga dengan Prof.DR.dr.W.Z. Johannes (salah seorang Pahlawan Nasional asal Rote-NTT). Prof.DR.dr.W.Z.Johannes masih terhitung kerabat dekat dengan Onie karena adik kandung W.Z.Johannes menikah dengan Kakak Sepupu Onie Tanya yakni Pendeta Karel Wenyi. Pada saat bertugas di Jakarta, Onie sedang mengandung anak kedua. (Menurut Onie) di Jakarta itu rupanya suaminya masih tetap berhubungan/melakukan kontak dengan teman-temannya ex. sekolah HIK-Solo, yang tengah berjuang melawan tentara Belanda di Jawa Tengah ( saat itu Agresi Militer I), teman2nya mengajak Titus untuk bergabung, Titus tertarik, kemudian dia mengambil keputusan untuk bergabung dengan teman2nya, dia menitipkan istrinya Onie yang sedang hamil tua kepada Prof. W.Z.Johannes. Titus berangkat ke Jawa Tengah untuk bergabung angkat senjata di hutan bersama teman2nya ( Titus baru tamat pendidikan Kepolisian, jadi sedang mahir2nya menggunakan senjata serta dia sebagai seorang Polisi memiliki senjata). Tetapi belum lama bergabung, dia dipanggil pulang ke Jakarta karena Onie akan segera melahirkan, tiap hari Onie menangis dan mengeluh kepada Prof. W.Z. Johannes, meminta agar memanggil pulang suaminya Titus ke Jakarta agar ketika dia melahirkan Titus berada disampingnya.
Prof.W.Z.Johannes pun bersurat kepada saudara sepupunya yaitu Prof. Herman Johannes ( juga seorang Pahlawan Nasional dari Rote NTT) yang tinggal di Jogyakarta untuk mencari Titus dan meminta dia kembali ke Jakarta. Sedikit tentang Herman Johannes selain beliau adalah ahli membuat bahan peledak dan bahan bakar alternatif, dia tamatan Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB Bandung sekarang), ketika jaman Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948), Herman Johannes juga adalah Perwira Tentara Perang Indonesia (berpangkat Mayor TNI) yang berkedudukan di Jogyakarta, beliaulah yang bertugas membuat bahan peledak yang digunakan para Pejuang untuk melawan tentara Belanda, Prof. Herman Johannes juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Pendudukan kota Jogyakarta selama 6 (enam) jam yang tersohor itu.
Akhirnya Titus pun pulang ke Jakarta, mendampingi istrinya Onie melahirkan anaknya yang kedua yaitu Yos Uly pada Mei 1947. Kelahiran Yos ini langsung dibidani oleh Prof. W.Z.Johannes yang adalah seorang Doktor dokter senior ahli Radiologi dosen di Fakultas Kedokteran pada Universiteit van Indonesië ( Universitas Indonesia di Jakarta sekarang). karena jasanya yang begitu besar didunia kedokteran Indonesia maka beliau kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kembali kepada Titus dan Onie, setelah kelahiran anaknya yang kedua.
Mengikuti penugasan pertama ke Surabaya (1 Agustus 1947-20 Juli 1948)
Titus mendapat Skep.Pengangkatan sebagai Perwira Pertama (Inspektur Polisi Tingkat II) pada Kepolisian Republik ( tahun 1947), sekaligus mendapat penugasan yang pertama di Seksi V Kota Surabaya (didaerah Kapasan) pada 1 Agustus 1947- 20 Juli 1948, dengan jabatan pertama yang diemban Titus adalah sebagai Wachcommandant seksi V (Kapolsek sekarang), disini Onie sudah mulai belajar menjadi istri pimpinan polri yang membimbing dan mengayomi istri2 polisi yang menjadi anak buah suaminya, pada saat itu belum ada Organisasi Bhayangkari ( Bhayangkari baru lahir pada 17 Agustus 1949 ). Surabaya pada saat itu dipimpin oleh Gubernur Pertama Jawa Timur yaitu Gubernur Suryo ( seorang Pejuang 45 yang terkenal dalam Pertempuran 10 November 1945 ), dan waktu itu Surabaya masih mencekam dengan suasana Perang ( Agresi Militer Belanda I dan II ), Titus bertugas di tempat yang masih berperang, sebagai komandan polisi setempat Titus pun banyak membantu para pejuang yang sedang berperang, dia menyembunyikan para pejuang yang dikejar-kejar tentara Belanda, apalagi banyak pejuang yang berasal dari Indonesia Timur yang berjuang di Perak, Titus akrab dan membantu mereka selama bertugas disana.
Detachement-Commandant Polisi di Alor (1948-1949) dan Maumere (1949)
Tindak-tanduk Titus ‘membantu’ para pejuang ini dilaporkan ke-pimpinan, maka Titus dibuang dari Kota Surabaya jauh ke Alor NTT . Titus kali ini mendapat Jabatan sebagai Detachement-Commandant di Alor NTT ( 21 Juli 1948-31 Oktober 1949), kedudukan dia sebagai Komandan Kepolisian Alor berada dibawah Kepolisian Timor dan Kepulauannya di Kupang. Onie secara otomatis menjadi Pendiri sekaligus Ketua Bhayangkari I di Kepolisian Alor, di Alor ini Onie melahirkan anaknya yang ketiga yaitu Estherlina Moesye Uly, pada tahun 1949 Titus dipindahkan ke Maumere, sebagai Kepala Kepolisian I Daerah Sikka di Maumere ( Detachement-Commandant) dari awal Desember 1949- 31 Desember 1949, Kepolisian Sikka juga berada dibawah Kepolisian Timor dan Kepulauannya, disinipun Onie menjadi Pendiri sekaligus Ketua Bhayangkari I Kepolisian Maumere.
Ketua Bhayangkari pertama Daerah Kepolisian Timor dan Kepulauannya (1950-1952)
Pada waktu berdirinya Republik Indonesia Serikat ( RIS ) tahun 1950, maka pada tanggal 19 Januari 1950 Dienst der Algemeene Politie In Nederlandsc – Indieh (Dinas Polisi umum di Hindia Belanda) di ambil alih oleh pejabat pemerintahan RI dan dijadikan jawatan Kepolisian ( RIS ) dan R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumarto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Pada 25 April tahun 1950 Titus Uly ditunjuk memimpin Kepolisian Timor dan Kepulauannya (Corps Commandant) di Kupang . Namun pada tahun 1951 Organisasi Kepolisian ini berubah menjadi “Daerah Kepolisian Timor dan Kepulauannya”, maka Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta mencari calon pimpinan Polri yang republiken di NTT ( Belanda sudah mengakui Negara Kesatuan RI pada tahun 1949), dan akhirnya melalui SK. Perdana Menteri mengangkat Kompol tkt. II Titus Uly kembali dipilih dan dipercaya untuk menjadi Kepala Daerah Kepolisian Timor dan Kepulauannya di Kupang ( 1951-1952). Komisaris Polisi Kelas II Titus Uly sebagai Kepala Daerah Kepolisian Timor dan Kepulauannya meliputi wilayah kekuasaannya Bima (NTB), ditambah NTT sekarang.
Pada 17 Agustus 1950, Negara Indonesia Timur (NIT) menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga secara otomatis Daerah Kepolisian Timor dan Kepulauannya berada dibawah Kepolisian Republik Indonesia dan sebagai Kepala Kepolisian Daerah Timor yang pertama dijabat oleh Komisaris Polisi Kelas II Titus Uly pada tahun 1951-1952 (Catatan dari Sejarah Polda NTT di Wikipedia). Sehingga dikemudian hari Polda NTT menetapkan Kompol tkt. II Titus Uly sebagai Kepala Kepolisian NTT yang pertama ( Nama Titus Uly oleh Polda NTT ‘diabadikan’ sebagai nama Rumah Sakit Bhayangkara Drs. Titus Uly-Kupang ).
Onie sejalan dengan itu, menjadi Ketua Bhayangkari Daerah Kepolisian Timor dan Kepulauannya, ketika bertugas di Kupang ini Oniepun meletakkan dan membentuk dasar-dasar Organisasi Bhayangkari di NTT. Pada tahun 1950 lahirlah anak keempat yaitu Lenny Uly dan anak kelima yaitu Yakhobus Jacki Uly (1952).
Mengikuti suami ke PTIK Angkatan V Jakarta (1952-1958)
Setelah itu Titus Uly mendapat kesempatan mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Angkatan ke-V di Jakarta (1952-1958), Titus merupakan Polisi asal NTT yang pertama kali mengikuti Pendidikan Sarjana Perwira di PTIK. Maka di tahun 1952 Onie dan Tituspun memboyong anak-anaknya pindah ke Jakarta, oleh teman-teman seangkatannya Titus Uly dianggap paling senior dikarenakan Titus telah memiliki anak 5 orang. Oniepun sekarang disibukkan dengan mengurus rumah tangga,
mengurus anak-anak maupun mengurus sanak keluarga baik dari dia sendiri maupun dari Titus yang ikut tinggal dirumah mereka di Jalan Jatinegara Barat Jakarta Timur. Di Jakarta ini kehidupan rumah tangga Titus Uly sebagai seorang mahasiswa, ‘cukup susah’ , mengingat pendapatan yang kecil dari gaji seorang mahasiswa PTIK, mana dapat mencukupi keluarga dengan 5 orang anak dan ditambah (kurang lebih) 10-12 orang keluarga yang ikut tinggal dalam rumah tersebut, menurut tutur kakak saya Yos dan Jacki Uly tiap hari sarapannya Bubur, Telur Ayam (satu butir dibagi empat), kalau ada roti ya roti buaya yang dibagi-bagi agar cukup untuk semua penghuni rumah, kadang-kadang kalau tidak ada uang lagi ya menjual barang ke loak di pasar mester yang tidak jauh dari lokasi rumah.
Tetapi sebagai seorang istri lagi-lagi Onie dapat mengaturnya dengan baik keuangan rumah tangga. Di Jakarta menjelang tamatnya Titus Uly dari PTIK lahirlah anak ke VI yaitu Nicky Nickolas Uly ( Mei 1957).
Ketua Bhayangkari pada Skomdak XIV Kalimantan-Timur
Setelah mengikuti pendidikan di PTIK selama 5 tahun, ditambah Praktek lapangan selama setahun,maka pada tahun 1959 Titus pun mendapat penugasan pertama ke Balikpapan Kalimantan Timur sebagai Komandan Resort ( Danres) Kutai Selatan dan Pasir (1959-1960) serta menjadi Kepala Bahagian Perlengkapan (Logistik) dan Ass. II (1960-1964) pada Komdak XIV Kalimantan Timur . Onie pada masa itu terpilih sebagai Ketua Daerah Bhayangkari pada Komdak XIV Kalimantan Timur, Onie terpilih dalam pemilihan langsung oleh anggota Bhayangkari (pada saat itu Ketua Daerah Bhayangkari bukan secara otomatis diduduki oleh istri Pimpinan tertinggi, tetapi melalui pemilihan anggota). Hal ini makin membuat Onie berkembang dan bertumbuh menjadi pemimpin wanita/ istri polisi yang kuat dan berpengalaman. Di Balikpapan ini lahir anak VII yaitu Nonce Uly (Desember 1959) dan anak kedelapan pasangan Titus dan Onie yaitu Robby Uly (Agustus 1962).
Ketua Harian Cabang Bhayangkari Akabri Kepolisian di Sukabumi.
Pada tahun 1964-1969 Titus Uly mendapat penugasan baru masuk di Lembaga Pendidikan Polri yakni Sebagai Instruktur Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK) dan Dosen Akabri Kepolisian di Sukabumi Jawa Barat. Adapun jabatan yang dipercayakan adalah sebagai Ketua Bidang Pengajaran dan Koordinator Dosen di Akabri Kepolisian ( sekarang adalah Direktur Pendidikan Akpol ), hebatnya sang istri Onie lagi lagi terpilih sebagai Ketua harian Cabang Bhayangkari Akabri Kepolisian, mengalahkan istri-istri pimpinan Akabri Kepolisian lainnya. Sudah mulai nampak “darah kepemimpinan” pada ibu Onie, selalu tampil sebagai Pemimpin dalam organisasi Internal Wanita Istri2 Polisi.
Di Sukabumi Onie memimpin istri2 Polisi mengikuti Latihan Militer Sukwati (Pendidikan Sukarelawan Militer bagi istri2 ABRI saat itu), tetapi Onie tetap memperhatikan rumah tangga, dia tetap memperhatikan pertumbuhan baik fisik maupun pendidikan anak2nya, di Sukabumi ini lahir anak kesembilan yaitu Ridho Galih Uly (Oktober 1965). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sekitar tahun 1964, 1965 dan 1966, inflasi di Indonesia melejit secara mengerikan. Saat itu saban minggu itu harga barang bisa naik berlipatganda. Duit tidak ada arti sama sekali. Khususnya bagi orang‐orang gajian itu menimbulkan suasana yang panik. Kalau pejabat gajinya tidak berarti lagi, mereka cepat‐cepat lari ke dunia korupsi, catut, dsb. Orang melarikan duitnya untuk beli tanah. Karena tanah dianggap sesuatu yang bisa mempertahankan harganya.Keadaan ekonomi waktu itu menimbulkan suatu kegelisahan di seluruh Indonesia.
Orang merasa masa depannya sangat gelap, tidak normal, dan serba tak menentu. Terus, ada kemiskinan yang luar biasa. kemerosotan ekonomi nasional, terjadi hyper inflasi serta negara terbelit hutang luar negeri yang besar, demonstrasi mahasiswa dan pelajar terjadi dimana-mana, masyarakat miskin meningkat, PNS/ABRI maupun Rakyat makan “Bulgur” . Hal ini turut terasa oleh keluarga Titus dan Onie, dengan anak 9 (sembilan ) orang, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya seorang ibu Onie harus mengatur keuangan rumah tangga, memikirkan biaya sekolah maupun makan minum anak2nya dalam kondisi ekonomi nasional yang lagi terpuruk. Tetapi semuanya dapat dilewati dengan baik, Onie tetap mampu berdiri sebagai Ibu Rumah Tangga, sebagai Istri maupun sebagai pimpinan organisasi Bhayangkari.
Ketua Harian Bhayangkari Komdak XVII NTT dan sebagai Anggota DPRD Prop.NTT Wanita pertama (1971-1977).
Pada tahun 1969, Titus Uly dipindahkan kembali ke Kupang-NTT sebagai Kepala Staf pada Satuan Komando Daerah Angkatan Kepolisian XVII NTT (SKOMDAK XVII NTT). Onie dan anak-anakpun diboyong kembali ke Kupang, di NTT ini sebagai istri Kastaf.Onie masih tetap sebagai Ketua Harian Organisasi Bhayangkari Skomdak XVII NTT. Onie sebagai Pimpinan Bhayangkari NTT pada Pemilu 1971 melalui Persatuan istri-istri ABRI di NTT diusulkan sebagai Anggota DPRD Propinsi NTT dan berhasil.
Onie menjadi Wanita NTT pertama yang menjadi Anggota DPRD Propinsi NTT periode 1971-1977 (Era Orde Baru), sekaligus Onie mulai menapakkan kakinya sebagai seorang Politikus dari Golongan Karya. Terpilih sebagai Anggota DPRD Prop.NTT kedua kalinya (1977-1982).
Pada tahun 1973 Titus Uly memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP) dari Polri, tetapi pada tahun 1974 oleh Pemerintah Pusat Titus dikaryakan kembali sebagai Kakanwil Dikbud NTT untuk periode 1974-1976, secara otomatis Onie pun menjadi Ketua Umum IDHATA NTT .
Titus Uly sempat ditunjuk sebagai Koordinator Tim Pendamping Pembentukan Kanwil. Dikbud di Timor Timur selama 3 (tiga) bulan (November 1976-Januari 1977). Kemudian pada tahun 1976-1980 Titus Uly kembali ditunjuk dan diangkat sebagai Dekan Fakultas Keguruan, Ketataniagaan dan Hukum (FKKH) di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, maka Oniepun menjabat sebagai Ketua organisasi Dharma Wanita cabang FKKH. Pada Pemilu tahun 1977 Onie terpilih lagi sebagai Anggota DPRD Propinsi NTT untuk yang kedua kalinya ( Periode 1977-1982) dari Golkar, sedangkan Titus Uly pada tahun 1979 terpilih sebagai Ketua Golkar NTT periode 1979-1984, Oniepun pada waktu yang hampir sama terpilih sebagai Pemimpin yang pertama dari Organisasi Himpunan Wanita Karya (HWK) NTT .
Titus Uly kembali terpilih menjadi Anggota MPR-RI Utusan Daerah pada periode 1980-1982.
Keluarga dan Penutup.
Leonie Victoria Uly-Tanya sebagai seorang Wanita, Istri maupun seorang Ibu telah mampu menunjukkan prestasinya, dia sebagai seorang Ibu telah mampu mendidik dan mengantar anak-anaknya yang sembilan orang berhasil dibidang kehidupannya masing-masing baik dalam kehidupan berkeluarga maupun dalam berkarier dibidang pekerjaan, seperti :
1, (Alm) Johana Monica Uly menikah dengan (Alm) Kombes.Pol (purn) Johanis Paulus (mantan Wakapolwil NTT dan Anggota DPRD Propinsi NTT) berdomisili di Kupang.
2. Prof.Dr.Ir. Yos Uly, MM, M.BA (Pensiunan Pegawai Bank BAPINDO, Dosen) menikah dengan Audrey Margriet Gimon, B.Ac ( Pensiunan Pegawai Bank Niaga Jakarta ) domisili di Jakarta.
3. (Alm) Estherlina Moesye Uly, Sm.Hk. menikah dengan (Alm) John Couturier , domisili di Darwin Australia.
4. (Alm) Lenny Uly menikah dengan Tony Aarts berdomisili di Breda-Belanda.
5. Irjenpol.(Purn) Drs. Yakhobus Jacki Uly, MH (mantan Kapolda NTT, mantan Kapolda Sulawesi Utara, serta Anggota DPR-RI ) menikah dengan Ratna Simanjuntak, Sm.Perawat, berdomisili di Bogor-Jawa Barat.
6. Ir Nicky Nickolas Uly, M.Si (Pensiunan PNS Kota Kupang, mantan Anggota DPRD Kota Kupang), menikah dengan Dra. Th. Balina Oey, M.Si ( Pensiunan PNS pada Pemerintah Kota Kupang) berdomisili di Kupang.
7. Nonce Uly, SE (Pensiunan PNS pada Pemerintah Propinsi NTT) berdomisili di Kupang.
8. (Alm) Robby R. Uly, SE (Pensiunan PNS pada Kantor Perwakilan Pemerintah Prop.NTT di Jakarta) menikah dengan almh. Indri (PNS Kementerian), kemudian menikah lagi dengan Ratna ( Pegawai Swasta) berdomisili di Jakarta.
9. Ridho Galih Uly, SH ( Pensiunan PNS pada Pemerintah Propinsi NTT) berdomisili di .Kupang.
Sebagai seorang Istri, Onie mampu mendampingi suaminya, dia mampu pula menjadi pemimpin bagi Organisasi Istri-Istri anak buah suaminya dalam segala sisi dan aspek, baik ketika suaminya penugasan di wilayah terpencil maupun ketika suaminya bertugas dipusat pemerintahan, Onie mampu menyaingi suaminya dan tampil sebagai Pemimpin. Sebagai seorang Wanita, Onie mampu tampil secara Emansipatif bersaing dengan kaum Laki-Laki dengan kedudukan yang sejajar seperti yang dia tunjukkan ketika dia menjadi Anggota DPRD Propinsi sebanyak 2 (dua) kali, periode yakni 1971-1977 dan 1977-1982.
Mama Onie adalah Saksi Sejarah 6 (enam) Jaman yakni Jaman Penjajahan Belanda ; Jaman Penjajahan Jepang ; Jaman Awal Kemerdekaan ; Jaman Orde Lama ;Jaman Orde Baru dan Jaman Reformasi.Atas keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai oleh Onie tersebut diatas pada tanggal 26 Maret 2019, Harian Timor Express Kupang bekerja sama dengan Dekranasda Propinsi NTT menganugerahkan ibu Leonie Victoria Uly-Tanya “ KARTINI AWARD 2019” yang diserahkan langsung oleh Istri Gubernur NTT Ny. Yulie Laiskodat-Sutrisno.
Pada tanggal 04 Februari 1989 Suami tercinta Titus Uly meninggal dunia dalam usia 69 tahun, dia meninggalkan istrinya Onie yang tetap berada disamping anak2, cucu2 serta cicitnya.
Oma Onie Uly-Tanya sudah cukup purna karena sudah berusia 92 tahun dan beliau tetap sehat walaupun sudah lemah, tidak seperti dulu yang adalah seorang Wanita yang Cerdas dan Cekatan. Tetapi dia telah menorehkan banyak prestasi dalam karya sepanjang hidupnya yang membanggakan bagi anak cucu serta Keluarga Besar Titus Uly tentunya.
Meninggal Dunia
Pada hari Rabu 17 Februari 2021, pukul 04.15 Wita, Leonie Victoria Uly-Tanya Meninggal Dunia di Rumah Sakit S.K.Lerik-Kupang setelah dirawat selama kurang lebih 2 (dua) minggu dalam usia yang cukup purna yakni 92 tahun dan 9 bulan.
Almarhumah dimakamkan di TPU Mapoli-Kupang pada tanggal 19 Februari 2021.
Berita TVRI berkenaan dengan meninggalnya mama/oma/oyang Leonie Victoria Uly-Tanya :
Sumber Data dan Foto : Google, Wikipedia, tulisan Peter A. Rohi serta Foto/Data dari Keluarga.
NNU